Kelompok 7
1.Novita 4.Ahmad
Syahri
2.Desi 5.Andi
ST. Aisyah
3.Reski 6.Ansar
Dias Putra
Universitas Negeri Makassar
2016/2017
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Selanjutnya Salam dan Shalawat juga kami hanturkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh umat islam yang juga telah
membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang
Dalam
penyelesaian makalah ini telah banyak pelajaran yang dapat kami peroleh
terutama dalam hal mata kuliah ini sendiri. Mungkin masih banyak kesalahan yang
terdapat dalam penyusunan makalah ini, dikarenakan kurangnya ilmu pengetahuan
yang dimiliki. Tapi karena adanya teknologi seperti internet dan buku yang
bersangkutan dengan mata kuliah ini, yang mendukung kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang diberikan tepat pada waktunya. Makalah ini menjelaskan banyak
hal tentang “Hukum Adat Tanah Toraja”.
Dengan
selesainya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik itu kesalahan dari penulisannya maupun dari penyusunannya, untuk
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritikan yang konstruktif, dan juga
berharap agar makalah ini dapat bermanfaat dan dapat diterima dengan baik.
Terima kasih.
Makassar,
November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
1.
Latar Belakang
............................................................................................................
1
2.
Rumusan Masalah ......................................................................................................
1
3.
Tujuan Makalah .........................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
......................................................................................
2
1.
Hukum Adat Tanah Toraja Secara
Umum…………………...…………….............. 2
2.
Adat Perkawinan……………...……….………………………................................
2
3.
Pengangkatan Anak dan Pembagian
Warisan………………………………............ 2
Bab III PENUTUP…………………………………………………………………..….. 3
Kesimpulan
.......................................................................................................................
3
Saran………………………………………………………………………………...…... 3
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Suku Toraja adalah suku yang berada
di Sulawesi Selatan Indonesia. Populasinya
diperkirakan
sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu Sulawesi
Selatan. Wilayah Tanah Toraja dikenal juga dengan gelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan
Tana Matari’allo yang artinya “Negeri yang bulat seperti bulan dan
matahari” karena wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Toraja
merupakan suatu daerah yang menagnut suatu hukum adat yang masih sering
digunakan oleh masyarakatnya. Hukum adat adalah suatu hukum yang tidak tertulis
yang di patuhi oleh anggota masyarakat yang menghuni suatu daerah tertentu
karena dianggap memiliki makna tersendiri yang bermanfaat yang dapat mengatur
pola kehidupan masyarakat. Meski hukum adat yang ada di Indonesia tidak
tertulis namun sangat di patuhi oleh masyarakat Indonesai itu sendiri dan
sangat dijaga kelestariannya.
Hukum
adat yang ada d Toraja ada berbagai
macam mengenai tingkah laku pergerakan masyarakat Toraja. Hukum adat di Toraja
ada yang mengatur tentang Pengangkatan Anak, Pembagian Warisan Terhadap Anak
yang di Angkat Oleh Kaum Bangsawan, Hukum Adat Tentang Tanah, Hukum Adat
Tentang Perkawinan dan Masih ada lagi banyak hukum adat yang ada Di Tanah
Toraja Tersebut.
Dalam
struktur kelembagaan Tanah Toraja mereka hidup dalam satu komunitas yang
mengatur kehidupan mereka. Suatu komunitas inilah yang menganut hukum adat di
dalamnya karena apabila terjadi perselisihan antara warga maka Tongkonan atau
To Parenge wajib dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan melalui
siding adat perdamaian yang diselenggarakan di Tongkonan. Dalam komunitas adat
Tongkonan ini ada pemimpin atau yang dituakan dan dinilai demokratis melalui
Kombongan yang merupakan kekuasaan tertinggi.
2.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan tentang
hukum adat yang ada di Tanah Toraja!
2.
Bagaimana adat
perkawinan di Tanah Toraja
3.
Bagaimana adat
pengangkatan anak dan pembagian warisan di Tanah Toraja?
3.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian atau pembuatan makalah ini
adalah agar pembaca dapat mengetahui tentang hukum adat yang berlaku di
masyarakat Tanah Toraja secara umunya, bagaimana adat perkawinan masyarakat
Tanah Toraja, bagaimana adat pengangkatan anak dan pembagian warisan di tanah
toraja. Dengan dibuatnya makalah ini di harapkan dapat menjawab semua
pertanyaan yang muncul mengenai system Hukum Adat yang berlaku di Tanah Toraja.
Di harapkan dengan adanya makalah ini masyarakat Indonesia
lebih bisa lebih memehami apa hukum adat itu terkhusus pada wilayah Tanah Toraja dan
dengan adanya makalah ini bangsa Indonesia bisa lebih saling menghormati antar
suku dan bisa lebih mengetahui hukum adat yang berlaku di luar suku mereka dan lain-lainya.
Bab II
Pembahasan
1.
Hukum Adat Tanah Toraja
Tanah Toraja adalah salah
satu suku yang ada di Indonesia yang sangat terkenal di Indonesia bahkan
di luar negeri. Dalam masalah peraturan masyarakat Toraja masih menggunakan
system adat atau hukum adat meski telah dipengaruhi oleh
budaya-budaya modern akibat banyaknya wisatawan dari dalam atau luar negeri
yang masuk ke Indonesia yang membawa budaya modern mereka secara sedikit demi
sedikit sehingga banyak anak muda yang mengikuti budaya tersebut secara
perlahan-lahan tanpa mereka sadari.
Kebudayaan yang
dibawa oleh wisatawan tersebut sebenarnya telah mengancam keberadaan adat dan
kebudayaan asli yang ada di Tanah Toraja, meski demikian kenyataanya masyarakat
Tanah Toraja masih bisa mempertahankan dan bahkan masih terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasan leluhur mereka baik
dalam perkawinan, upacara kematian, pengangkatan anak, pembagian warisan,
penyelesaian masalah dan masih banyak lagi hal lainnyayang masih di pertahan
kan seperti Hukum Adat mereka, terkhusus pada masyarakat yang berada di daerah
Tondon Kabupaten Toraja Utara.
Hal yang masih dipertahankan di Toraja pula adalah budaya
stratifikasi sosail yang sangat menonjol, karena stratifikasi social itulah
yang membagi derajat masyarakat Tanah Toraja. Stratifikasi social yang berlaku
di Tanah Toraja, dikenal dengan Puang (penguasa/tuan), masyarakat biasa, dan
Kaunan (Budak). Namun pada persebaran agama masyarakat Tanah Toraja yang
mayoritas agamm Kristen atau agama Nasrani, pembagian stratifikasi itu dilarang
atau kata lainnya tidak mengenal perbedaan kasta. Akan tetapi dalam praktiknya,
masyarakat Tanah Toraja tetap membedakan kasta dalam masyarakat yang dibuktikan
dalam penyelenggaraan pertas-pesta besar mereka baik itu pesta kelahiran, kematian
dan lain-lain. Pada masyarakat bangsawan atau Puang (penguasa/tuan) pada saat
mengadakan pesta mereka akan mengadakan pesta besar-besaran sesuai dengan
stratifikasi yang mereka miliki, mereka akan
menyembeli kerbau atau tedong yang harganya miliaran rupiah dengan
jumlah yang banyak. Pada masyarakat biasa pada saat mengadakan pesta mereka
akan mengadakan pesta juga dan menyembeli kerbau atau tedong namun tidak begitu
mewah seperti yang dlakukan oleh masyarakat yang berstatus social sebagai
puang, mereka akan menyembeli kerbau tersebut sesuai dengan kemampuan mereka
sesuai dengan status social yang mereka miliki yang tidak begitu tinggi dan
bahkan bisa dibilang sedang. Sedangkan pada masyarakat yang berstatus social
sebagai Kaunan atau Budak dari dulu memang telah dilarang untuk mengadakan
pesta yang begitu mewah bahkan besar-besaran. Mereka tidak boleh menyembeli
kerbau atau tedong yang harganya miliaran rupiah tersebut seperti yang
dilakukan oleh masyarakat yang berstatus social sebagai puang (penguasa atau
tuan) dan masyarakat biasa, karena masyarakat budak tersebut dianggap hanya
sebagai suruhan yang tidak memiliki uang lebih dalam membeli kerbau atau
tedong. Masyarakat kaunan ini masih ada dalam satu kelompok kecil yang terdapat
disalah satu wilayah Tanah Toraja.
Meski adanya status social yang melekat pada masyarakat Tanah Toraja tersebut
namun masih terdapat hukum adat yang
mengatur gerak mereka. Hukum adat di Tanah Toraja telah diatur oleh beberapa
lembaga yang diyakini oleh masyarakat Tanah Toraja itu sendiri yang dinamakan
Kombonan. Kombonan inilah sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang
mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakat.
Komunitas atau kelembagaan adat Kombongan ini merupakan
suatu komunitas yang memiliki pembagian dalam kerjanya atau pembagian dalam
kesepakatannya. Komunitas atau kelembagaan Kombongan ini memiliki semboyang yaitu
“Untesse Batu Mapipang” artinyadapat memecahkan batu cadasyang mempunyai makna bahwa apapun dan
bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau
membuat aturan adat yang baru hasil Kombongan yang disahkan.
Prinsip dari Kombongan tersebut sudah membudaya disetiap
insan Toraja sehingga dimanapun mereka
berada diseluruh Nusantara yang hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap
mempertahankan Motto “Kadda Rapa dan Kada Situru” yang artinya Kesepakatan
dan persetujuan yang dibagi menjadi:
·
Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan
·
Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
·
Kombongan Karopi dalam TIap Karopi
·
Kombongan Saroan dalam Kelompok basis di bawah
Karopi
Kombongan kalua sang lepongan bulan
(Musyawarah Agung, Kombongan seluruh Tanah Toraja yang merumuskan dan memuyawarahkan
aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut
sesuai tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja
di Tana Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi,
maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing
kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.
Kombongan
kalua sang lembangan, dilakukan setiap tahun
atau apabila ada hal atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka adat dan
masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan bebas dimana peserta
bebas mengeluarkan pendapat namun pengambilan keputusan oleh tiap Karopi
melalui musyawarah dan mufakat.
Seluruh
keputusan dalam Karombang dibacakan ulang dan diakhiri dengan acara potong babi
dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti apabila ada yang
mengingkari hasil kombongan, maka tulang babi akan menyumbat leher dan bulu
dari babi akan menusuk sehingga Kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya
menjadi Besse atau Sumpah.
Kombongan
Karopi, dilaksanakan setiap tahun atau apabila ada
hal yang khusus antara lain apa bila terjadi pelanggaran adat. Kombongan
dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam Kombongan
tersebut tidak melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga
kadang-kadang terjadi perdebatan sengit. Disini kecenderungan rakyat meminta
pertanggung jawaban dari pemuka adat atau To Parenge atas pelaksanaan adat
dalam wilayahnya sehingga pemuka adatlah menjadi ajang pengadilan.yang dibahas
adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang
semuanya berasal dari usulan masyarakat. Namun apabila tidak mendapat
penyelesainnya, maka diajukan ke Kombongan Kalua sebagaimana fungsinya sebagai
adat perdamaian dan peradilan adat.
Kombongan
Soroan, kombongan yang menyangkut aturan local dalam
wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain
organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Membuat
dan mengkaji kesepakatan khususnya yang beraitan dengan gotong royong atau
menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan.
2.
Adat
Perkawinan
Di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, perkawinan di sebut Rampanan
Kapa’. Masyarakat di Tanah Toraja memuliakan adat perkawinan kerena
menganggapnya sebagai bentuk kebudayaan.
Proses pelaksanna Rampanan Kapa’ ini berbeda dengan proses
perkawinan di daerah lain, karena yang mengesahkan perkawinan di Tanah Toraja
bukan penghulu agama, melainkan pemerintahan adat yang dinamakan Ada’.
Adapun peraturan yang dipegang bersumber dari ajaran Aluk To Dolo (kepercayaan
Animisme)yang dinamakan aluk Rampanan Kapa’ tidak seperti upacara Selametan
Peristiwa lain misalnya pembangunan rumah, mendoakan panen dan ternak dan
kelahiran bayi, perkawinan di Tanah Toraja tidak mempersembahkan kurban atau
sesajen.
Rampanan
Kapa, adalah semata-mata adanya persetujuan yang kemudian disahkan dengan
perjanjian. Semua dilakukan dihadapan pemerintah adat dan seluruh keluarga.
Perjanjian tersebut merupakan aturan hukum yang juga memuat sanksi-sanksi bagi
kedua belah pihak yang menikah seandainya terjadi pelanggaran.
Setelah
melakukan prosesi adat dan di sahkan oleh agama pula kedua mempelai di dudukan
di Tongkonan yang dmana tongkonan tersebut terdapat sebuah etalase kaca di
atasnya yang berisi tengkorak manusia yang dimana tengkorak tersebut adalah
tengkoran para penguasa tongkonan Lombok masa lampau yang diletakkan sebagai
sebuah penghormatan.
Tamu-tamu
yang memiliki posisi tinggi dipemerintahan atau memiliki kedudukan dalam Dewan
Adat dan memiliki unsur kebangsawanan disediakan tempat duduk dialang atau
tempat duduk dibawah lumbung, dmana lumbung adalah tempat menyimpan padi bagi
masyarakat Torajadan merupakan tempat kehormatan. Sementara para tamu lainnya
dibuatkan pondok dari bamboo yang memanjang dan disesuaikan dengan asal kampong
mereka.
3.
Adat Pengangkatan Anak dan Pembagian Warisan
Pengangkatan anak merupakan suatu
perbuatan hukum dalam rangka hukum adat keturunan, bilamana seorang anak
diangkat atau didudukan dan diterima dalam suatu posisi, baik secara biologis
maupun status sosial, yang semula tidak ada padanya. Seseorang yang diangkat
anak mempunyai hak-hak dalam rangka
hukum waris, yaitu menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris baik
materil seperti: sawah, kebun, rumah dan benda-benda lain, maupun immaterial
seperti: gelar adat, kedudukan adat dan martabat keturunan.
Pengangkatan yang dilakukan oleh
Toparengnge’ (pemuka adat) terhadap anak
Kaunan bertujuan untuk memberikan hak sah kepada kaum hamba ini agar tidak
diambil oleh orang lain sebagai hambanya. Selain itu, dengan adanya
pengangkatan seperti ini akan membuat anak Kaunan lebih rajin dalam mengabdi
kepada Toparengnge’ sebagai tuannya dan sekaligus sebagai orang tua angkatnya serta
dapat mengerjakan atau mengelolah sawah, kebun dan menggembalakan ternak dari
Toparengnge’. Selain itu, Adanya perlindungan yang diberikan oleh Toparengnge’
kepada anak kaunan dan keluarganya terhadap masyarakat yang akan menjadikannya
sebagai hamba lagi merupakan faktor lain yang menjadi alasan pengangkatan ini.
Anak kaunan mendapat warisan yang
dibagi yaitu warisan yang dikhususkan atau diistimewakan dan diberikan pada
saat pewaris masih dalam keadaan hidup. Harta yang diberikan berupa sawah dan tanah
untuk tempat membangun rumah. Dikatakan
khusus atau istimewa karena walaupun ia
telah menerima warisan pada saat orang tua angkatnya masih hidup, anak kaunan
juga masih bisa mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya telah meninggal,
tentu saja setelah anak ini melakukan pengorbanan berupa pemotongan kerbau atau
babi pada saat upacara kematian Toparengnge’ atau orang tua angkatnya. Bagian
warisannya tersebut diberikan atau tidak diberikan tergantung pada kesepakatan
anak kandung Toparengnge’.
Meski anak Kaunan telah di angkat
oleh Toparengenge tetap saja ia tidak boleh melakukan upacara adat seperti yang
dilakukan oleh Toparengenge karena mereka tetaplah sebagai keturunan Kaunan
atau budak. Contohnya saja saat melakukan upacara kematian untuk keluarga
kandungnya mereka tidak boleh memotong kerbau karena pemotongan kerbau hanya di
tujukan kepada keluarga bangsawan saja atau Toparengenge meski mereka telah di
angkat menjadi anak angkat. Meski anak keturunan Kaunan memiliki banyak uang
untuk membeli kerbau tetap saja
pemotongan kerbau dilarang untuk mereka karena akan menyalahi aturan adat yang
telah berlaku apa bila mereka melakukan itu. Contoh lain apabila upacara rambu
solo anak angkat dari keturunan kaunan ini akan memakai pakaian terkhusus, sarung
yang berbeda dari keturunan Toparengenge karena mereka tetaplah keturunan
Kaunan. Anak angkat ini juga hanya bisa duduk di tempat yang lebih rendah dari
alang (lumbung) tempat yang di duduki oleh Toparengenge, bisa juga mereka duduk
dibelakang alang yang di duduki oleh Toparengenge. Jenis warna sarung yang di
gunakan Toparengenge adalah berwarna putih sedangkan karunan berwarna kuning.
Sebagai anak angkat, anak keturunan Karunan bertugas untuk mengangkat babi ke
atas lumbung. Sebagai seorang anak mereka harus mengabdi kepada orangtua mereka
meski hanya sebagai orang tua angkat.
Seorang anak kaunan yang di angkat
bisa saja tidak mendapat warisan dari toparengene karena beberapa factor yang
menyebabkannya, yaitu:
·
Kedekatan,
walaupun anak kaunan telah diangkat oleng toparengenge akan tetapi tidak
memiliki kedekatan dengan keluarga toparengenge maka kemungkinan ia tidak akan
mendapatkan apa-apa.
·
Pengabdian,
tidak terlepas dari status social anak kaunan sebagai golongan budak, maka
anak tersebut harus mengabdi hanya
kepada tuannya dan keluarga tuannya. Apabila ia tidak melakukan hal tersebut
atau melakukan pengabdian kepada maka ia tidak akan diberikan warisan apa-apa.
·
Pengorbanan,
salah satu factor yang membuat anak kaunan tidak mendapat warisan adalah ketika
toparengenge meninggal dan tidak melakukan pengorbanan berupa pemotongan kerbau
atau babi kecuali ada persetujuan dari anak kandung toparengenge tersebut baru
ia dapat warisan.
Bab III
Penutup
1.
Kesimpulan
Hukum adat yang berlaku di Tanah
Toraja adalah hukum adat Kombonan yang telah menjadi suatu lembaga yang
memiliki rinsip-prinsip bagi masyarakat Tanah Toraja. Dari Hukum Adat Kombonan
ini juga dapat mengarahkan masyarakat
Tanah Toraja agar menjadi lebih baik lagi dan tidak adanya perpecahan di antara
mereka
Adat perkawinan di Suku Toraja tidak
dilakukan dengan pemotongan atau kurban dan tidak adanya sesajen. Perkawinan di
Tanah Toraja diatur oleh hukum adat yang di sepakati oleh kedua belah pihak dan apabila ada yang melanggar akan
dikenai sanksi-sanksi yang berlaku. Kedua mempelai di duduk kan di Tongkonan,
para pemuka adat, pegawai pemerintah didudukkan di lumbung dan warga biasa
didudukkan di suatu tempat yang khusus.
Adat pengangkatan anak yang dilakukan
oleh pemuka adat yang bergelar bangsawan itu akan mengangkat anak kaunan
sebagai anak angkat yang bertujuan untuk melindungi anak kaunan tersebut dari
perbudakan orang lain. Dalam pembagian warisan anak kaunan akan di berikan
warisan apabila ia memenuhi syarat yang telah di tentukan. Meski anak keturunan
kauna telah di angkat oleh pemuka adat status sosialnya tetaplah sebagai anak
keturunan kaunan yang tidak boleh memakai sarung berwarna putih apabila sedang
melakukan upacara rambu solo dan harus
mengenakna sarung berwarna kuning.
Mereka juga tidak boleh memotong kerbau apabila melakukan upacara kematian.
2.
Saran
Diketahui
diIndonesia beribu kebudayaan yang berbeda begitupula dengan hukum adat yang
berlaku di setiap daerah berbeda-beda di harapkan dengan adanya makalah Hukum
Adat yang membahas Tanah Toraja iini dapat memberikan manfaat untuk mengetahui
hukum adat terkhusus pada daerah Tanah Toraja agar kita dapat mengetahui semua
Hukum Adat yang ada di Indonesia.
Dengan
segala keaneka ragaman yang ada di harapkan bisa menumbuhkan sikap saling
menghargai di antra kit. Maka dari itu di harapkan dari pembaca untuk membaca
makalah ini dan memeberikan saran dan kritikan .